ANALISIS KEPRIBADIAN
KOMUNITAS JEPANG
MENURUT TEORI KEPRIBADIANWALTER MISCHEL
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Kepribadian 2
OLEH:
EKA DEWI FAJARIYANTI
0805007058
KELAS D
DESEMBER, 2007
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
PENDAHULUAN
Jepang adalah negara termaju ketiga dari segi ekonomi setelah Amerika dan Cina (www.wikipedia.org). Suatu prestasi yang tidak mungkin terwujud dengan sendirinya, kecuali diusahakan oleh komunitas negara tersebut. Komunitas Jepang terkenal dengan kejujuran, kerja keras, kebiasaan datang tepat waktu, dan kedisplinannya. Mereka rela berhemat dan bersusah payah serta pantang menyerah demi kesuksesan di masa depan. Karakteristik komunitas yang demikian menujukkan suatu kemampuan kontrol, menunda reward sesaat demi reward yang lebih besar di masa depan. Kemampuan yang oleh Walter Mischel disebut dengan delay of gratification.
Karakter komunitas Jepang tersebut adalah kekhasan yang umum (behavioral signature of personality), namun dalam beberapa situasi perilaku yang tampak tidaklah demikian. Misalnya saja perilaku jujur komunitas masih diselingi dengan adanya tindak korupsi oleh anggota parlemen Jepang (www.kompas.com). Selain itu karakter kerja keras juga dipengaruhi oleh situasi, pada musim panas komunitas cenderung bermalas-malasan karena teriknya matahari atau pada musim dingin komunitas cenderung berada di rumah karena lebatnya salju yang turun (murniramli.wordpress.com). Oleh karenanya, komunitas Jepang merupakan salah satu perwujudan perilaku menurut Walter Mischel, yaitu hasil dari interaksi antara disposisi personal yang stabil dan proses kognitif-afektif dengan situasi tertentu (Mischel dalam Feist & Feist, 2006).
ANALISIS KOMUNITAS
Sebagian ahli kepribadian berpendapat bahwa kepribadian bersifat stabil dan konsisten dalam segala kondisi. Namun, Walter Mischel bukan salah satu dari mereka. Penelitian Mischel dan Staub (1985) dalam Feist dan Feist (2006) pada anak kelas 8 menghasilkan suatu kesimpulan bahwa umpan balik berinteraksi dengan harapan untuk sukses mempengaruhi pemilihan reward, antara reward yang langsung atau reward yang ditunda namun lebih bermakna. Penelitian lain Mischel berkolaborasi dengan Ebbesen (1970) dalam Hall et. al. (1988) menyimpulkan bahwa anak TK dapat menggunakan proses kognitif mereka untuk mengubah situasi yang sulit menjadi lebih mudah. Mereka melakukan berbagai cara agar dapat bersabar melakukan delay of gratification (penundaan kepuasan sesaat) demi reward yang lebih besar nantinya. Berdasarkan penelitian tersebut dan penelitian-penelitian lainnya, Mischel menyimpulkan bahwa perilaku merupakan hasil dari interaksi antara disposisi personal yang stabil dan proses kognitif-afektif dengan situasi tertentu (Mischel dalam Feist & Feist, 2006).
Berkenaan dengan perilaku, Mischel melihat adanya paradoks konsistensi yaitu fakta bahwa meskipun intuisi mendukung kepercayaan bahwa orang memiliki karakteristik disposisi secara garis besar berdasarkan konsistensi pada berbagai kondisi, penelitian pada area ini secara gigih gagal mendukung intuisi tersebut (Mischel, 1984 dalam Hall, et. al., 1988). Mischel mengingatkan bahwa bukti-bukti empiris menyarankan banyaknya variabilitas dalam perilaku (Mischel dalam Feist dan Feist, 2006). Dengan kata lain, meskipun secara intuisi orang menilai bahwa setiap orang memiliki karakteristik yang sama pada berbagai situasi dan kondisi, hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku manusia berubah berdasarkan pengaruh dari situasi. Namun, bukan berarti manusia tidak memiliki kepribadian yang tahan lama atau semata-mata dipengaruhi situasi. Manusia tetap memiliki beberapa konsistensi dalam berperilaku, tetapi faktor situasi memiliki efek yang kuat pada perilaku manusia.
Untuk mengatasi paradoks konsistensi, Mischel dan Shoda men gajukan sistem kepribadian kogitif-afektif (CAPS/ cognitive- affective personality system). Sistem tersebut memprediksi bahwa perilaku seseorang akan berubah dari satu situasi ke situasi lain namun dalam cara yang bermakna. Mischel dan Shoda percaya bahwa perilaku dapat dibingkai dalam konsep: “jika A, lalu X; tapi jika B, lalu Y”. Dengan demikian pandangan intuitif bahwa perilaku manusia bersifat stabil dan hasil observasi empiris mengenai banyaknya variabel penyebab perilaku dapat dijelaskan. Mischel (1999) dalam Feist dan Feist (2006) berpendapat bahwa teori kepribadian sebaiknya memprediksi behavioral signature of personality, yaitu pola yang konsisten dari variasi perilaku dalam situasi tertentu.
Pemikiran Mischel tersebut terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja pada kehidupan komunitas Jepang. Sebagai sebuah komunitas, dalam artian sekelompok orang yang tinggal dalam satu tempat, dalam kondisi berbagi, dan memiliki kesamaan (Oxford, 1995), komunitas (Shitayama-cho) Jepang memiliki rasa saling memiliki. Dalam shitayama-cho para pemuda berkumpul, anak-anak membentuk gang (Shitayama-cho-ite), seluruh anggota merayakan festival, dan merasa menyesal “kenapa tidak tahu lebih awal, sehingga dapat meminjamkan uang” apabila ternyata seorang wanita tua anggota shitayama-cho yang kesusahan harus menjual rumahnya (Dore, 1958 dalam Silberman 1962).
Komunitas Jepang memiliki behavioral signature of personality dalam hal kejujuran. Sejak kecil mereka tidak pernah mendengar dan melihat contoh bohong sehingga mereka sendiri tidak dapat melakukannya (www.pikiran-rakyat.com). Apabila terlambat kuliah, mahasiswa Jepang dengan jujur berkata “Saya keenakan tidur jadi terlambat bangun!”, tanpa berusaha mencari-cari alasan. Para pedagangnya juga akan berkata jujur bahwa barang dagangannya buruk jika memang demikian, sehingga menyarankan pembeli memilih yang lain saja.
Dengan memiliki “jujur”sebagai behavior signature of personality, bukan berarti komunitas Jepang adalah komunitas yang jujur dalam segala kondisi. Pada kenyataannya, masih terdapat tindak korupsi di negara tersebut. Misalnya kasus korupsi dan skandal suap perkayuan anggota parlemen Suzuki (www.kompas.com). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat konsep “jika A, lalu X; tapi jika B, lalu Y” sebagai berikut: “Jika anggota komunitas Jepang berada dalam situasi yang mendukung perilaku tidak jujur, maka ia melakukan perilaku tidak jujur. Jika anggota komunitas berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan perilaku tidak jujur, maka ia tidak melakukan tindakan bohong/ tidak jujur”. Faktor situasi misalnya saja situasi memungkinkan tindak korupsi (memegang jabatan anggota parlemen) berinteraksi dengan kognitif-afektif dan disposisi personal dari anggota komunitas. Apabila kognitif-afektif dan disposisi personal anggota komunitas tidak memprioritaskan kejujuran (behavioral signature of personality) pada suatu situasi maka perilaku jujur (salah satunya anti korupsi) tidak terlaksana. Faktor situasi juga mempengaruhi pada perilaku jujur mahasiswa saat terlambat. Di Jepang, jika bus atau keretaapi terlambat, para penumpang akan mendapat secarik keterangan yang memberitahukan memang kendaraan itu terlambat dengan disebutkan berapa lamanya, terhitung sampai dengan menit (www.kompas.com). Oleh karenanya, kemungkinan mencari-cari alasan apabila terlambat menjadi terbatas.
Behavioral signature of personality lainnya dari komunitas Jepang adalah “kerja keras”. Sebagai negara yang sempat hancur setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945, Jepang adalah negara yang cepat bangkit dengan bekerja keras. Akibatnya kini Jepang menjadi negara termaju secara ekonomi ketiga setelah Amerika dan Cina (www.wikipedia.com). Kerja keras merupakan pola yang muncul terus menerus pada komunitas Jepang. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun) (www.romisatriawahono.net). Para profesor Jepang gemar pulang pagi demi menyelesaikan penelitian, misalnya saja Profesor Sankai (usia 48 tahun) hanya dapat tidur dengan benar beberapa kali saja dalam setahun, demi mengembangkan robot bionik (Yoshiyuki, 2006).
Kerja keras sebagai pola yang konsisten dari variasi perilaku dalam situasi tertentu (behavioral signature of personality) merupakan disposisi komunitas Jepang. Namun, disposisi tersebut berinteraksi dengan situasi selain dengan kognitif-afektif personal. Pada situasi tertentu sifat cenderung bekerja keras dapat pula tidak nampak. Misalnya saja, pada saat musim panas (natsu), komunitas Jepang menampakkan perilaku bermalas-malasan. Karena udara panas menyengat, mereka menjadi malas untuk keluar rumah, belajar, dan lain sebagainya. Bahkan terkadang juga menjadi malas makan atau disebut dengan ‘natsu bate’ (夏ばて). (murniramli.wordpress.com ).
Satu lagi behavioral signature of personality yang khas dari komunitas Jepang adalah “malu”. Menurut De Vos (1960) dalam Lebra & Lebra (1991) komunitas Jepang adalah contoh yang sangat baik dari suatu komunitas dengan orientasi “malu”. Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang, yang salah satunya tercermin dalam fenomena hara-kiri (potong perut), yaitu bunuh diri dengan memotong perut ke vertikal-horizontal kemudian mengeluarkan isinya, apabila kalah dalam pertempuran pada era samurai. Pada masa kini budaya tersebut masih nampak dengan wujud yang berbeda. Misalnya saja apabila pejabat terlibat korupsi atau skandal, biasanya pejabat tersebut langsung mengundurkan diri dengan sendirinya, atau apabila pelajar gagal dalam sekolahnya mereka melakukan bunuh diri. Komunitas Jepang menjunjung tinggi rasa malu, hingga apabila mereka berada di tempat umum, mereka akan langsung membentuk antrian serta tidak mau melanggar norma masyarakat yang ada. Dalam hal ini, ‘malu’ masih nampak sebagai pola yang konsisten pada komunitas Jepang, namun perwujudannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari komunitas.
Orang belajar mengontrol tingkah lakunya dan beraksi dengan mempertimbangkan masa depan (Mischel, 1971). Kemampuan untuk secara sukarela menolak kepuasan langsung, mengontrol tingkah laku untuk mentolerir reward tersebut disebut Mischel sebagai delay of gratification. Kemampuan melakukan penundaan kepuasan sesaat merupakan hal yang penting bagi individu maupun masyarakat, terutama dalam mencapai tujuan jangka panjang, misalnya untuk mencapai gelar sarjana atau menjadi dokter. Jika kemampuan kontrol diri individu lemah, maka terjadi perilaku kriminal dan tindakan antisosial.
Berkaitan dengan delay of gratification, komunitas Jepang adalah pekerja keras yang hemat, loyal, dan pantang menyerah. Sebagai behavior signature of personality, kerja keras adalah modal bagi bangsa Jepang yang sebenarnya miskin akan sumber daya alam. Bahkan di Jepang terdapat fenomena mati karena kerja keras yang disebut dengan istilah Karoshi (www.romisatriawahono.com). Karakter lain yang menunjukkan penundaan kepuasan sesaat yaitu hidup hemat dalam keseharian. Para ibu rumah tangga rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau 30 yen (1 yen= 100 rupiah). Rumah-rumah di Jepang masih umum menggunakan pemanas dengan minyak tanah dibandingkan menggunakan AC dengan pemanas, karena minyak tanah dianggap lebih murah.
Dalam menentukan apakah akan melakukan delay of gratification, individu mempertimbangkan keluaran di masa depan jika ia melakukan penundaan kesenangan saat ini. Apakah keluaran di masa tersebut cukup bermakna dan sebanding dengan pengobanan yang ia lakukan saat ini. Berkaitan dengan penentuan perilaku delay of gratification, Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena tidak mampu, tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian. Dengan kerja keras dan hidup hemat, disertai sifat pantang menyerah, komunitas Jepang berharap dapat sukses di masa depan. Perngobanan yang mereka lakukan pada saat ini dipandang cukup sebanding dengan reward lebih besar yang mereka terima di masa depan, diantaranya status dan kehidupan yang lebih baik. Hal tersebut terbukti bahwa kini Jepang menjadi negara ketiga termaju ekonominya, setelah Amerika dan Cina (www.wikipedia.com). Jepang dengan cepat bertransformasi dari era feodal ke era industri sejak restorasi Meiji, kemudian menjadi negara yang memiliki kekuatan di dunia selama kurang dari lima puluh tahun (De Vos, 1960 dalam Lebra dan Lebra, 1991) dengan kerja keras sejak masa nenek moyang mereka.
Dalam studinya, Mischel (1971) menemukan bahwa anak-anak dapat menggunakan proses kognitif untuk mengubah situasi yang sulit menjadi lebih mudah. Anak-anak TK dapat mengubah kondisi menunggu reward dengan bernyanyi, bermain, atau menutup mata, sehingga menunggu tidak lagi terlalu terasa. Proses kognitif yang dilakukan komunitas Jepang diantaranya dengan sibuk bekerja sehingga dapat mengalihkan perhatian dari kesenangan sesaat, maupun sibuk melakukan hal lainnya. Seorang ahli robot, Profesor Sankai Yoshiyuki, berpendapat bahwa:
“untuk mengembangkan bidang baru Anda perlu digerakkan oleh semangat dan harapan. Penelitian memerlukan waktu yang sangat banyak, tetapi hal itu tidak pernah menjadi suatu tugas yang tidak menyenangkan” (Yoshiyuki, 2006).
Dari pernyataan tersebut tergambar bahwa dengan harapan dan semangat mewujudkan cita-cita dan impian serta sibuk bekerja, maka lama waktu menunggu hasil dari delay of gratification akan tidak terlalu terasa.
Delay of gratification berkaitan erat dengan kontrol. Adapun kontrol dalam komunitas Jepang dilakukan secara komunal. Apapun yang lazim dikatakan sebagai gangguan sosial, komunitas secara keseluruhan ingin meminimalisir disharmoni (Cornell, 1965 dalam Silberman, 1962). Komunitas Jepang berupaya menjaga harmoni dalam hubungan satu sama lain, dengan bersikap toleran. Misalnya saja apabila ada sapi tetangga memakan rumput dalam rumahnya, seseorang akan membicarakannya pada pihak ketiga, tanpa bicara langsung pada pemilik sapi. Apabila pemilik sapi mendengar keluhan tetangganya tersebut, ia akan meminta maaf dan menawarkan ganti rugi. Namun apabila pemilik sapi mengetahui tetapi tidak melakukan apapun, maka tetangga yang dirugikan serta komunitas akan tetap memberikan toleransi, namun tidak lagi menghormati pemilik sapi tersebut.
Kontrol komunitas yang mengutamakan harmonisasi tersebut mencerminkan delay of gratification baik pada level individu maupun komunitas. Individu yang dirugikan secara sukarela menahan diri berhadapan langsung dan menumpahkan kekesalan maupun kemarahan pada orang yang merugikannya. Dengan menahan diri, maka keharmonisan hubungannya dengan orang tersebut dan komunitasnya dapat terjaga. Sementara komunitas menahan diri untuk tidak menghakimi, melainkan memberikan toleransi pada anggota komunitas yang mengganggu, agar komunitas secara keseluruhan tetap harmonis.
Kontrol sosial pada komunitas Jepang berupa gosip (Cornell, 1965 dalam Silberman, 1962). Meskipun omong kosong membicarakan kehidupan pribadi orang lain dapat menimbulkan perpecahan dalam komunitas, seringkali gosip menghukum seseorang demi kebaikannya sehingga ia dapat melakukan introspeksi diri. Apabila gosip dan ejekan tidak cukup mengontrol perilaku, maka komunitas melakukan tindakan tegas. Misalnya pada anggota komunitas yang setelah digosipkan dan diejek masih gemar mabuk-mabukan, berjudi, dan berteriak, maka ia akan dikucilkan beserta rumah tangganya agar lekas sadar dan berhenti menimbulkan kekacauan dalam komunitas. Kontrol sosial tersebut mencerminkan pentingnya kontrol dalam komunitas saat ini demi masa depan komunitas dan anggotanya.
Mischel dan Shoda (1999) dalam Feist dan Feist (2006) menemukan bahwa terdapat variabel yang relatif stabil pada manusia dalam interaksi dengan situasi yang disebut dengan cognitive-affective units (unit-unit kognitif-afektif). Unit-unit tersebut terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, dan sosial yang menyebabkan orang berinteraksi dengan lingkungan dengan pola variasi yang relatif stabil. Unit-unit kognitif-afektif terdiri atas: (1). Strategi encoding atau bagaimana orang mengkategorisasikan sesuatu kejadian, (2). Kompetensi dan strategi regulasi diri, yaitu mengenai apa yang dapat dilakukan dan strategi atau rencana untuk memenuhi perilaku yang diinginkan, (3). Harapan dan kepercayaan mengenai keluaran perilaku dan stimulus pada situasi tertentu, (4). Tujuan, pilihan, dan nilai yang menentukan perhatian selektif pada suatu kejadian, dan (5). Respon afektif, terdiri atas perasaan dan emosi.
Cognitive-affective units dari komunitas Jepang diantaranya sebagai berikut: (1). Strategi encoding atau bagaimana orang mengkategorisasikan sesuatu kejadian, dalam hal ini setiap orang memiliki individual differences (perbedaan individu) karena berkaitan dengan konstruk personal. Dalam kaitannya dengan komunitas Jepang, unit encoding merupakan unit yang dimiliki oleh setiap anggota komunitas secara berbeda-beda namun tetap dipengaruhi oleh komunitas secara keseluruhan. Misalnya dalam menghadapi kegagalan, anggota mempersepsinya sebagai sesuatu yang memalukan, karena budaya “malu” dalam komunitas; (2). Kompetensi dan strategi regulasi diri, yaitu mengenai apa yang dapat dilakukan dan strategi atau rencana untuk memenuhi perilaku yang diinginkan. Komunitas Jepang memiliki kompetensi misalnya dalam hal pembuatan robot (robot-robot di Jepang digunakan di seluruh dunia), dengan kompetensi tersebut, komunitas Jepang melakukan strategi regulasi diri yaitu terus menerus mengembangkan teknologi robot, mulai dari robot humanoid (1996), Aibo dari Sony (1999), ASIMO dari Honda (2000), dan berbagai robot lainnya hingga saat ini. Dengan strategi regulasi, komunitas Jepang membuat rencana masa depan robot, memberikan reward dan mengkritik pencapaian tujuan tersebut dengan sendirinya, meski tidak ada dorongan dari luar komunitas.
Unit selanjutnya yaitu: (3). Harapan dan kepercayaan mengenai keluaran perilaku dan stimulus pada situasi tertentu. Unit ini berkaitan dengan keluaran perilaku (behavior-outcome of expectancies) dan keluaran stimulus (stimulus-outcome of expectancies). Pada komunitas Jepang, terdapat harapan keluaran perilaku sesuai dengan bingkai “jika...,maka.....”, misalnya saja “apabila komunitas bekerja keras, maka kemajuan ekonomi akan tercapai” atau “Jika komunitas melakukan inovasi dalam teknologi robot, maka komunitas menjadi produsen robot terbesar di dunia”. Sementara keluaran stimulus (stimulus-outcome of expectancies) yang dimiliki komunitas misalnya dalam hubungan dengan Amerika, mereka takut apabila pemerintah Amerika menyatakan ancaman atau tidak berani menolak apabila dimintai sesuatu. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi komunitas Jepang yang lemah dalam bidang militer (dana untuk militer hanya 1% dari kas negara), karena militer mereka dilarang berkembang setelah kekalahan dalam Perang Dunia II.
Unit keempat adalah “Tujuan, pilihan, dan nilai yang menentukan perhatian selektif pada suatu kejadian”. Nilai yang dianut oleh komunitas Jepang diantaranya nilai moral. Moral yang mereka anut adalah humanisme dengan label ningenkyoo (agama humanistik) dan ningenteki-benshoohoo atau dialektik manusia (Lebra, 2001). Karena menganut nilai moral tersebut, komunitas Jepang alergi akan intervensi pada aturan alam. Oleh karenanya komunitas Jepang memberi perhatian pada alam sekitar dan berusaha untuk melakukan harmonisasi dengan alam diantaranya dengan membuat rumah Jepang tradisional (nihon kaoku) yang alami, terbuat dari kertas dan kayu. Meskipun saat ini komunitas Jepang banyak yang menggunakan rumah modern, tetap saja di dalam rumah mereka memiliki bagian dari nihon kaoku.
Unit terakhir adalah “respon afektif” yang terdiri atas emosi, perasaan,dan reaksi fisiologis. Studi Lebra (2001) menunjukkan bahwa dibandingkan komunitas Cina yang peka akan ungkapan verbal namun tidak peka akan emosi sesungguhnya, komunitas Jepang adalah komunitas yang peka akan emosi dan perasaan orang lain meskipun orang tersebut berusaha menyembunyikannya. Studi tersebut berlawanan dengan studi La Barre (1961) dalam Silberman (1962) yang mengatakan bahwa orang Cina memiliki wajah dan kepedulian yang lebih alami dibandingkan orang Jepang dalam hal memahami emosi orang lain. Menurut La Barre, komunitas Jepang cenderung memakai “topeng” emosi untuk menutupi emosi sesungguhnya demi konformitas sosial dan menunjukkan bahwa mereka tidak individualis. Menurut pengalaman Wahono yang pernah tinggal selama 10 tahun di Jepang, orang Jepang sangatlah sopan (www.romisatriawahono.net). Bahkan jika pengendara sepeda menabrak mereka yang sedang berjalan kaki, mereka lah yang meminta maaf duluan. Sampai saat ini komunitas Jepang pantang berkata “tidak”, akibatnya jawaban “hai” belum tentu berati benar-benar “iya” melainkan bisa saja sebagai bentuk kesopanan dan menjaga perasaan orang lain.
Pandangan Mischel dan koleganya mengenai kompleksitas perilaku manusia yang kondisional (dipengaruhi oleh situasi) memberikan masukan bagi manusia dalam mengatasi depresi dan mencegah bunuh diri. Berhubung perilaku manusia berdasarkan konsep “jika...., maka....”, maka kegagalan atau kelemahan dalam satu kondisi tidak berarti kegagalan dalam segala kondisi. Misalnya saja “jika diminta bermain piano, maka saya tidak dapat melakukannya”, tapi “jika diminta bermain keyboard, maka saya dapat melakukannya”. Pandangan tersebut dapat menjadi masukan bagi komunitas Jepang dalam mengatasi depresi dan mencegah bunuh diri anggotanya. Kekurangan komunitas Jepang dalam hal sumber daya alam dan militer, bukan berarti kelemahan mutlak di segala bidang. Bahkan kekurangan tersebut memicu komunitas Jepang untuk berprestasi dan memaksimalkan potensi dalam bidang lain, misalnya bidang teknologi robot, industri, dan ekonomi.
Dengan memiliki pandangan yang kompleks dan kondisional tentang seseorang dan orang lain seseorang menjadi kurang stereotipik sehingga memiliki kondisi mental yang sehat. Teori Mischel layak digunakan untuk menganalisis kepribadian komunitas Jepang, karena dengan penggunaan teori tersebut stereotip yang dilekatkan pada komunitas Jepang dapat dikurangi atau dihapuskan. Perilaku yang muncul pada komunitas tertentu dipengaruhi oleh situasi spesifik yang dialami komunitas tersebut berinteraksi dengan kognitif-afektif dan disposisi personal/ komunitas. Oleh karenanya perlu diketahui behavioral signature of personality dalam komunitas tersebut dengan memperhatikan bagaimana situasi pada saat perilaku nampak. Komunitas Jepang memiliki behavioral signature of personality jujur, hemat, kerja keras, disiplin, mementingkan harmoni, menyembunyikan emosi, dan lain sebagainya yang seringkali nampak, namun selalu dipengaruhi oleh situasi. Oleh karenanya penting untuk tetap memperhatikan faktor situasi dalam interaksinya dengan kognitif-afektif dan disposisi dalam menilai perilaku komunitas Jepang pada khususnya dan seluruh komunitas pada umumnya.
KESIMPULAN
Terdapat paradoks konsistensi antara pandangan intuitif bahwa perilaku bersifat stabil sepanjang masa dengan hasil penelitian empiris bahwa perilaku tidaklah sama dalam berbagai situasi. Oleh karenanya, Mischel (1971) merumuskan bahwa perilaku adalah interaksi antara disposisi dan kognitif-afektif dengan situasi spesifik. Paradoks konsistensi dipecahkan oleh Mischel dan Shoda dengan konsep “Jika A, maka X. Jika B, maka Y”. Demikian pula perilaku komunitas Jepang. Meski pada dasarnya komunitas Jepang memiliki pola variasi perilaku yang menetap sesuai dengan situasi (behavioral signature of personality) diantaranya jujur, kerja keras, malu, dan harmoni, perilaku tersebut dapat berubah bentuk maupun berubah secara berlawanan apabila pola tersebut berinteraksi dengan faktor kognitif-afektif komunitas serta situasi yang berbeda-beda.
Dalam interaksi dengan situasi, terdapat variabel yang relatif stabil pada manusia yang disebut dengan cognitive-affective units. Unit-unit kogitif tersebut dapat digunakan dalam memprediksi perilaku komunitas Jepang. Dalam kaitannya dengan faktor kognitif-afektif, komunitas Jepang adalah komunitas yang kuat dalam melakukan penundaan kepuasan sesaat (delay of gratification), mereka rela melakukan pengorbanan saat ini demi kebaikan di masa mendatang. Akibatnya, negara Jepang menjadi negara termaju ketiga di dunia secara ekonomi serta menjadi pengembang robot terbesar di dunia.
Teori sistem kepribadian kognitif-afektif Mischel dan Shoda, menjawab ketidakkonsistenan perilaku manusia dalam berbagai situasi, sekaligus menjawab paradoks konsistensi. Teori tersebut juga menjelaskan perilaku komunitas Jepang serta dapat meminimalisir stereotip yang dilekatkan pada komunitas Jepang maupun komunitas lainnya.
REFERENSI
Feist, J. & Feist. G. J. (2006). Theories of Personality: Sixth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Hall, C.S., Lindsey, G., et. al. (1988). Introduction to Theories of Personality (4th ed.). New York: John Wiley & Sons.
Lebra, T.S. & Lebra, W. P. (1986). Japanese Culture and Behavior: Selected Reading, Revisited Edition. Honolulu: University Hawaii Press.
Mischel, Walter. (1971). Introduction to Personality. USA: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Yoshiyuki, S. (2006, 15 September). “Hidup dengan Robot”. Nipponia, No. 38, 4-7.
---. (1995). Oxford Learner`s Pocket Dictionary. Inggris: Oxford University Press.
Match, P. “Rahasia Sukses Bos-bos Jepang!!!; Kompas, September 28, 2004”. www.ebook-gratis.cjb.net. (13 Nov. 2007).
Rosidi, A.“Orang Jepang Tak Pandai Bohong”. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0403/08/0804.htm. (13 Nov. 2007)
Wahono, R. S.. “10 Resep Sukses Bangsa Jepang”. http://romisatriawahono.net/2007/06/13/10-resep-sukses-bangsa-jepang/. (13 Nov. 2007)
---.“The Importance of Personality Variables VS Situational Variables”.
http://www.uwm.edu/People/hynan/673/673MISCH.html. (13 Nov. 2007)).
---. “Diduga Korupsi Anggota Parlemen Jepang Diancam Ditahan”. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/18/ln/didu02.htm (4 Des. 2007)
---.“Natsu bate no bete. http://murniramli.wordpress.com/2007/07/31/natsu-bate-dan-bete/. (4 Des. 2007)
---.”Jepang”. http://id.wikipedia.org/wiki/Jepang. (13 Nov. 2007)
2 komentar:
pasti nilai essaynya bagus..
he..he..
bagus ka analisisnya...
terimakasih..maaf baru baca.. ini siapakah anonim?
Posting Komentar