Unrequited Love, Antara Interdependence
dan Attachment Style
Merasakan cinta yang romantis adalah impian bagi hampir setiap manusia. Ketika dua insan saling jatuh cinta dan menikmati keintiman serta saat-saat bersama, dunia seolah diliputi keceriaan dan kebahagiaan (Baumeister & Wotman, 1992). Namun bagaimana halnya jika cinta hanya dirasakan oleh salah satu pihak (would-be lover) tanpa balasan oleh target cinta (rejector)?. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah unrequited love atau cinta bertepuk sebelah tangan, yaitu jatuh cinta meskipun perasaan tersebut tidak terbalas (Baron, Byrne,& Branscombe, 2006). Lalu mengapa unrequited love dapat menimpa beberapa orang, sementara yang lainnya tidak?. Psikologi Sosial mengajukan dua teori untuk menjelaskan gejala tersebut, yaitu Interdependence theory yang menekankan pengaruh lingkungan dan situasi pada individu, berpandangan bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi baik diri sendiri maupun orang lain (Kelly & Thibaut, 1978 dalam Baumeister & Wotman, 1992). Serta Attachment theory yang beranggapan bahwa hubungan interpersonal manusia sepanjang hayat dipengaruhi oleh hubungan individu dengan ibu atau caregiver lainnya semasa bayi ( Bowlby, 1979 dalam Sternberg & Barnes, 1988). Dalam esai ini, penulis membahas penyebab gejala unrequited love beserta solusinya. Meskipun kedua teori tersebut dapat saling melengkapi, penulis cenderung sependapat dengan teori Interdependence yang menekankan pengaruh lingkungan dan situasi tertentu pada perilaku individu dalam menjelaskan gejala unrequited love.
Hubungan yang romantis antara dua orang yang saling mencintai dianggap dapat menimbulkan perasaan bahagia dan fondasi utama bagi kebahagiaan hidup (Baumeister & Wotman, 1992). Namun apabila cinta yang romantis, passionate love hanya dirasakan oleh salah satu pihak, tanpa disertai ketertarikan yang sama oleh pihak target (unrequited love), maka timbul masalah tidak hanya bagi individu yang mencintai (would-be lover) tetapi juga bagi individu yang dicintai (rejector). Dalam kasus yang ekstrem, seorang would-be lover dapat menjadi depresi dan berusaha untuk bunuh diri akibat ditolak oleh orang yang ia cintai (Shapiro, 2000). Dalam kasus yang umum terjadi, would-be lover menjadi kecewa dan sedih, disertai penurunan self-esteem (Baumeister & Wotman, 1992), merasakan kekosongan, kecemasan, patah hati, dan putus asa (Sternberg & Barnes, 1988). Tidak hanya bagi would-be lover, rejector pun mengalami konflik pada dirinya apabila would-be lover mengungkapkan cinta, apakah ia memutuskan untuk menolak atau mengorbankan dirinya dengan berusaha menanggapi cinta would-be lover. Dalam kasus yang ekstrem seorang rejector dapat pula menjadi korban dari obsesi would-be lover sehingga terjadi kasus kekerasan, penyerangan, dan serangan seksual (Sinclair & Frieze, 2005). Umumnya, rejector merasa bersalah apabila menolak (Baumeister & Wotman, 1992) dan merasa terganggu apabila would-be lover pantang menyerah mendekati rejector, meskipun telah ditolak (Sinclair & Frieze, 2005). Sehingga secara umum, baik would-be lover maupun rejector dapat mengalami kerugian dari unrequited love. Oleh karenanya, penting diketahui mengapa unrequited love dapat terjadi, serta solusi dari masalah yang ditimbulkannya.
Seseorang dikategorikan sedang mengalami unrequited love ketika ia mencintai orang lain tanpa balasan atau ketika kedua pihak saling mencintai, namun mendapat halangan untuk bersama (misalnya karena berbeda agama, tekanan keluarga, salah satu pihak telah berpasangan, dsb) sehingga salah seorang menolak cinta pihak lainnya (Baumeister & Wotman, 1992). Menurut penelitian Baumeister, Wotman, & Stillwell (1990) dalam Baumeister & Wotman (1992), umumnya unrequited love dialami oleh individu sebanyak satu kali intensitas kuat, dua kali intensitas sedang, dan tiga atau empat kali intensitas ringan dalam lima tahun terakhir. Dengan perbandingan 1 dari 20 orang tidak pernah mengalaminya. Sebaliknya subjek yang sama pernah menjadi target (rejector) sebanyak kurang lebih dua kali dalam intensitas kuat, dua kali dalam intensitas sedang, dan tiga kali dalam intensitas ringan. Penelitian tersebut membuktikan bahwa seseorang tidak hanya berperan sebagai would-be lover secara terus menerus, melainkan ia juga dapat sekaligus berperan sebagai rejector.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan gejala unrequited love adalah teori interdependence. Teori tersebut menyatakan bahwa kemungkinan tindakan seseorang dapat mempengaruhi baik diri sendiri maupun orang lain (Kelly & Thibaut, 1978 dalam Baumeister & Wotman, 1992). Berawal dari teori Kurt Lewin (1936) bahwa situasi dan kondisi lingkungan sosial (Environment=E) memiliki pengaruh bagi perilaku (Behavior=B) individu (Person=P), B=f (P,E), Interdependence theory menjelaskan bagaimana interaksi antara seseorang dengan orang lain berkaitan dengan tujuan diri dengan mempertimbangkan kesejateraan orang lain dan situasi sosial yang spesifik (Rusburt & Lange, 2003). Premis dasar dari teori tersebut adalah bahwa struktur dari tujuan beberapa orang dalam suatu situasi menentukan bagaimana masing-masing saling berinteraksi dan pola-pola interaksi menentukan keluaran dari situasi (Deutsch, 1962; Johnson & Johnson 1969 dalam Johnson & Johnson, 2005). Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan pribadi maupun tujuan bersama dalam situasi tertentu, seseorang harus berinteraksi dengan orang lain dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Dalam kaitannya dengan unrequited love, interdependence theory membahas bagaimana tujuan dan perilaku baik would-be lover maupun rejector pada situasi tertentu, saling mempengaruhi satu sama lain. Dari sudut pandang would-be lover, untuk mencapai tujuannya, yaitu mendapatkan cinta, ia memiliki dua pilihan atau kemungkinan tindakan yaitu berusaha secara aktif mengejar target atau secara pasif memendam perasaannya tanpa usaha lebih lanjut. Apabila ia berusaha dengan aktif, maka ia memiliki kemungkinan cintanya akan terbalas atau kemungkinan akan ditolak. Jika cintanya terbalas maka would-be lover akan merasakan kebahagiaan, namun sebaliknya jika ditolak. Tetapi apabila would-be lover memilih bersikap pasif maka kemungkinan besar ia tidak akan merasakan kesedihan ditolak, namun ia juga kehilangan kesempatan untuk mendapatkan cintanya. Sedangkan dari sudut pandang rejector, ia memiliki pilihan tindakan menolak dan berkorban melayani would-be lover meskipun ia tidak menyukainya. Jika ia memilih melayani maka ia merasa berkorban, selain itu ia juga semakin memberikan harapan pada would-be lover. Sedangkan jika ia memutuskan untuk menolak dengan pertimbangan merasa terganggu dan sebagainya, kemungkinan ia akan merasa bersalah karena secara moral membuat orang lain terluka dan kecewa tidak dibenarkan. Antara rejector dan would-be lover terjadi interdependence dimana sikap salah satu pihak dapat mempengaruhi kondisi pihak yang lain.
Teori lain yang dapat menjelaskan gejala unrequited love adalah teori attachment yang diangkat pertama kali oleh John Blowby tahun 1979. Menurut Bowlby (1982) dalam Mikulincer, Gillath, & Shaver (2002), bayi memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjalin kedekatan dengan caregiver sebagai manifestasi nyata sistem bawaan sejak lahir, sehingga mampu bertahan hidup dan kelak mampu bereproduksi. Sistem tersebut berkembang seiring dengan adanya interaksi individu pada masa bayi dan anak-anak dengan ibu atau caregiver, sehingga muncullah kecenderungan gaya attachment diantaranya secure, avoidant, ambivalent, dan disorganized-disoriented (Papalia, Olds,& Feldman, 2007). Gaya attachment tersebut mempengaruhi hubungan interpersonal individu hingga akhir hayat (Bowlby, 1979 dalam Sternberg & Barnes, 1988). Menurut penelitian Shaver & Brennan (1992), terdapat hubungan antara attachment style dengan hubungan romantis. Individu dengan gaya anxious-ambivalent diasosiasikan dengan tidak memiliki hubungan dan gaya insecure diasosiasikan dengan kecenderungan bercerai. Penelitian lain menyimpulkan bahwa gaya secure memiliki korelasi positif dengan hubungan romantis yang langgeng, sebaliknya dengan gaya unsecure (Monteoliva & Martinez, 2005). Dalam kaitannya dengan unrequited love, attachment theory berpandangan bahwa gejala tersebut merupakan hal yang lazim sebagai manifestasi usaha mempertahankan kelangsungan hidup dan reproduksi. Individu dengan attachment style tertentu (anxious-ambivalence, insecure, avoidance) cenderung mengalami unrequited love dibandingkan yang lain (secure).
Teori Attachment tersebut memiliki kelemahan dalam menjelaskan bagaimana individu yang dikatakan secara universal memiliki keinginan untuk memiliki keintiman dengan orang lain demi kehidupan yang optimal (Ryff & Singer, 2000 dalam Baron, Byrne,& Branscombe, 2006) dapat berperan sebagai rejector yang menolak cinta yang ditawarkan oleh would-be lover. Selain itu, attachment theory juga tidak dapat menjelaskan fakta bahwa seorang would-be lover pada saat yang sama dapat pula menjadi seorang rejector (Sinclair & Frieze, 2005). Jika would-be lover disebabkan oleh attachment style yang unsecure maka seharusnya individu yang berperan sebagai would-be lover secara ekstrem akan terus-menerus mengalami unrequited love.
Unrequited love sebagai bagian dari romantic love, menimbulkan konflik antara would-be lover dan rejector serta dapat menimbulkan kerugian baik secara fisik dan psikologis, oleh karenanya perlu strategi mengatasi gejala tersebut. Berdasarkan teori interdependence, bagi would-be lover solusi yang ditawarkan adalah dengan berusaha secara aktif untuk mendapatkan cintanya, bukan hanya menunggu. Karena dengan berusaha secara aktif, would-be lover akan merasakan petualangan yang baik bagi well-being, serta memiliki kesempatan untuk ‘‘menang” dalam cinta (Baumeister & Wotman, 1992) . Namun would-be lover juga harus mempertimbangkan tindakannya, apabila rejector nampak cukup terganggu, apalagi jika telah menolak, maka sebaiknya would-be lover menerima kenyataan dan berhenti mengejar rejector, kemudian membuka diri untuk cinta yang lain yang bersifat mutual romantic love. Sedangkan bagi rejector, sebaiknya ia memutuskan segera menolak would-be lover jika merasa tidak mungkin untuk mencintainya, karena dengan kejelasan sikap tersebut, meskipun would-be lover merasa tersakiti, ia akan menyadari bahwa tindakannya membuat rejector merasa terganggu sehingga memutuskan untuk berhenti, selain itu would-be lover dapat segera mengobati rasa sakitnya dan melanjutkan hidup serta menemukan cinta sejati (companionate love). Hal tersebut jauh lebih baik dibandingkan membiarkan would-be lover merasa terombang-ambing dalam ketidakjelasan dan harapan semu.
Pada dasarnya gejala unrequited love merupakan gejala yang pernah dirasakan oleh hampir semua orang. Menurut teori interdependence, faktor lingkungan dan situasi tertentu adalah penyebab seseorang mengalami unrequited love. Berbeda halnya dengan pandangan teori attachment yang beranggapan bahwa individu telah memiliki kecenderungan untuk menjadi woud-be lover. Pada kenyataannya, teori interdependence lebih relevan dalam menjelaskan gejala unrequited love, terbukti seorang would-be lover tidak selamanya menjadi would-be lover melainkan pada waktu yang sama dapat pula berperan sebagai rejector.
Referensi:
Baron, R.A., Byrne, D., & Branscombe, N.R. (2006). Social Psychology: Eleventh Edition. USA : Pearson Education Inc.
Baumeister, R.F. & Wotman, S. R. (1992). Breaking Heart: The Two Sides of Unrequited Love. New York: The Guilford Press.
Johnson, D.W. & Johnson, R.T. (2005). New Development in Social Interdependence Theory. Genetic, Social, and General psychology Monograph, 131, 285-358.
Mikulincer, M., Gillath, O., & Shaver, P.R. (2002). Activation of the Attachment System in Adulthood: Threat-Related Primes Increase the Accessibility of Mental Representations of Attachment Figures. Journal of personality and Social psychology, 83, 881-895.
Monteoliva, A. & Garcia-Martinez, J.M.A. (2005). Adult Attachment Style And Its Effect on the Quality of Romantic Relationships in Spanish Students. Journal of Social Psychology, 145 (6), 745-747.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human Development, Tenth Edition. New York: McGraw Hill Companies, Inc.
Rusbult, C.E., & Lange, P. AM. V. (2003). Interdependence, Interaction, & Relationships. Academic research Library, 54, 351-375.
Saphiro, Alan. (2000). My Tears See more than My Eyes: My Son Depressions And the Power of Art. Virginia Quarterly Review.188-198.
Shaver P. R. & Brennan K. A. (1992). Attachment Styles and The Big Five Personality traits: Their Connections With each Other and With Romantic Relationships Outcomes. Personality and Social Bulletin, 18 (5), 536-545.
Sinclair, H.C., & Frieze, H.F. (2005). When Courtship Persistence Become Intrusive Pursuit: Comparing Rejecter and Pursuer Perspectives of Unrequited Attraction. Sex Roles, 52, 839-852.
Sternberg, R. J. & Barnes, M. L.(1988). The Psychology of Love. New York: Vail-Ballou Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar