Sabtu, 15 Desember 2007

Fear of Success (Takut sukses)

Melihat foto seorang gadis yang kukagumi, gadis yang diam-diam selalu kuperhatikan selalu berjalan dengan cepat, ditemani tas ransel yang nampaknya berat, atau buku-buku yang serasi dengan penampilannya yang cerdas dan tegas. Dia sendirian di depan sebuah gedung monumental di sebuah negara yang cukup jauh dari Indonesia. Sebenarnya dia tersenyum, nampak manis dan berbahagia, tapi kenapa saat melihatnya aku berpikir “Okey dia hebat, tapi dia kesepian”. Pemikiran yang ternyata dipikirkan oleh gadis-gadis kebanyakan.

Sebuah penelitian dengan menggunakan gambar TAT seorang gadis bernama Anne yang sedang mencapai puncak di sekolah kedokterannya, menemukan bahwa dari 60 cerita yang dikatakan subyek wanita, 56 cerita menggambarkan suatu ketakutan yang senada: Ketakutan akan Kesuksesan (Fear of Success). Penelitian tersebut dilakukan oleh Horner (dalam Segall, et. al., 1999) pada tahun 1969. Penelitian yang menunjukkan bahwa “wanita yang memiliki kecerdasan dan pendidikan di atas rata-rata, yang tinggal dan dibesarkan di masyarakat yang paling mengutamakan pencapaian prestasi di dunia, ternyata memiliki ketakutan yang amat besar pada kesuksesan”. Komentar wanita-wanita tersebut pada gambar TAT Anne diantaranya: “Dia akan merasa bangga dan sukses, tapi sayangnya dia menjadi dokter yang amat kesepian”, “Anne tidak lagi merasa bahwa dia ingin menjadi dokter. Dia mengkhawatirkan dirinya dan mungkin mempertanyakan apakah dia normal”.

Peneltian tersebut direplikasi oleh Monahan dan asosiasinya pada tahun 1974. Ternyata hasilnya tidak berbeda, bahkan ditemukan juga bahwa responden laki-laki berkomentar lebih negatif pada Anne, dibandingkan responden wanita.
Selanjutnya Horner menyimpulkan bahwa sikap pada kesuksesan terkontaminasi dengan sikap pada jenis kelamin. Sementara sukses bagi laki-laki dipandang sebagai tujuan yang positif, sukses bagi wanita dipandang tidaklah baik.

Peneltian tersebut dikenai kritik (mana ada penelitian bebas kritik?) mengenai alat ukur yang digunakan yaitu TAT (tes proyektif menggunakan stimulus yang ambigu, sehingga kepribadian responden dapat terungkapkan melalui komentar terhadap alat tes). Menurut Hayde (2007) tes proyektif oleh kebanyakan psikolog saat ini dianggap sebagai metode pengukuran yang lemah, sehingga motif menghindari sukses mungkin ada pada beberapa orang, tapi belum diukur dengan alat ukur yang tepat.

Kalau menurutku sih, fear of success eksis dalam kehidupan sehari-hari, nggak jarang denger omongan “Boleh kuliah, tapi jangan tinggi-tinggi, kalaupun mau S2 atau S3 atau apalah, mendingan nikah dulu deh.” Pernah suatu hari di kelas Psikologi Perempuan dan Gender seorang laki-laki komentar bahwa dia ingin mencari pasangan yang “cerdas”, tapi TIDAK lebih “cerdas” dari dirinya. Kenapa ya, rasanya menjadi wanita dan menjadi sukses adalah dua hal yang berbeda dan seolah harus memilih salah satunya atau memilih untuk tidak memilih^-^.



Referensi:
Segall, M.H., Dasen, P. R., Berry, J. W., & Poortinga, Y. H. (1999). Human Behavior in Global Perspective: An Introduction to Cross Cultural Psychology (2nd ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Hyde, J. S. (2007). Half the Human Experience: the Psychology of Women (7th ed.). USA: Houghton Mifflin Company.

Tidak ada komentar: