Senin, 22 Januari 2024

Diet OMAD One Meal a Day

Hari ini berbahagia dengan tubuh yang luar biasa ringan dan fit. Jalan pagi 8000 langkah, yoga di sore hari dengan senyuman, dan menimbang badan di malam hari di kisaran 53 kg. Banyak yang telah dicoba. Aneka diet dan olahraga, aneka saran dan masukan. Ada kaget dengan komentar di luaran tentang tubuh yang gemukan. Ada tangisan dan kekecewaan. Semua percobaan dan kegagalan yang akhirnya berujung kebahagiaan.

 


Diantara beragam diet, saya bersyukur bertemu dengan OMAD (One Meal a Day). Coba ini itu tak kunjung berhasil, hingga akhirnya di 58kg saya mencoba diet ini. Makan sekali sehari kurang lebih satu jam, sisanya minum air putih. Makannya apa? bebas yang saya sedang inginkan, tapi saya upayakan perbanyak protein.

 Hasilnya, Alhamdulillah.. dari 58 kg terus turun, kadang naik lagi jika tidak OMAD. Hingga akhirnya dengan kekuatan tekad berhasil mencapai 53.3kg. Apakah sudah puas?. Belum, sebab masih mengincar lingkar perut 70cm, dari yang tadinya 85cm sekarang sudah di 75cm. Kalau bisa inginnya terus turun ke 50kg dan terus ke 48kg. Tentunya dengan kenaikan proporsi otot dibanding lemak ya kawan.

Soal olahraga, awalnya hubungan saya sungguh kekanak-kanakan. Olahraga demi turun berat badan, pamrih sekali bukan. Sekarang, setelah bertahun-tahun, saya menyukai olahraga dan melakukannya karena bersenang-senang. Jalan pagi sembari melihat pemandangan, yoga sembari memanjangkan otot, angkat beban berbuah peningkatan massa otot, dan renang sebagai selingan. Olahraga yang bisa dilakukan sendiri saja, sebab saya yang introvert malas sekali berolahraga kelompok, hehe.

Saya bahagia dan bersyukur atas perjalanan panjang menuju tubuh yang bugar. Tidak ada lagi vertigo dan darah rendah. Tidak juga anemia dan batuk pilek. Alangkah indahnya memiliki tubuh yang bisa ringan bagai kapas, kuat bagai batu, dan lentur bagai karet.  Terimakasih pada orang-orang yang berkomentar miring tentang tubuh saya dahulu. Berkat mereka saya berubah menjadi saya yang saya impikan.

 Menuju usia 40tahun bersama kesehatan dan kebugaran, kebijaksanaan dan kemandirian, kesejahteraan dan ketenangan jiwa.  Saya bersyukur terlahir sebagai saya yang sebagaimana adanya. 

Jumat, 12 Januari 2024

Berpapasan dengan Materialisme

Hidup di masa kini dengan iklan yang bertubi-tubi, media sosial yang memaparkan kekayaan materi, dan lingkungan  yang berlomba memamerkan kemegahan, akankah kita bisa melepaskan diri dari materialisme?. 

Materialisme adalah pandangan diri yang positif tergantung dari penerimaan diri yang memiliki kepemilikan benda – benda, uang serta power dan image. Dimana akan terus menerus dihidupkan melalui feedback dari orang lain.  (https://www.liputan6.com/hot/read/5357886/materialisme-adalah-paham-filsafat-berupa-kenyataan-sebenarnya-benda-dan-materi)

Berpapasan dengan manusia yang mementingkan penilaian orang lain, mengutamakan benda dan uang ketimbang relasi manusia. Berjumpa dengan manusia semacam ini sungguh memuakkan. Karena orang semacam ini akan dengan ringan menumbalkan siapapun dan apapun demi memperoleh materi. Apa yang mereka katakan hanya seputar si ini beli tanah dan rumah di sini, menghubungi hanya sekedar urusan uang dan barang, kerja kerja kerja, lupakan relasi keluarga.  

Siapa sih yang tak perlu uang?. Siapa yang tak perlu rumah yang nyaman dengan lingkungan yang aman. Dalam skala tertentu ada kebutuhan-kebutuhan dasar yang memang harus dipenuhi. Sekedar satu rumah, satu kendaraan, beberapa pakaian yang layak. Setelahnya untuk apa sih membeli lagi dan lagi, dengan kerja keras mengorbankan waktu bersama keluarga?. Sudahlah, hidup ini sebentar sekali, dan apa yang ternyata bermakna adalah waktu bersama orang yang kita cintai. 

Saya pribadi tidak peduli dengan desakan bekerja, sayang ijazahnya katanya. Sudah sekolah tinggi kok ujungnya mengurus rumah tangga. Halah provokasi kacangan semacam itu hanya debu di semesta saya. Saya menikah di usia 21 tahun, lalu pergi pertukaran pelajar di Jepang, menyelesaikan kuliah S1 Psikologi UI lalu sisanya mengabdi untuk keluarga. Jadi tidak ada gelar setelah S.Psi, tidak ada karir yang patut dibanggakan, dan tidak juga tabungan yang tumpah ruah. Bersyukur suami bekerja dan berkarir dengan tabah sehingga pada akhirnya di usia saya yang 36tahun rasanya sudah cukup semua yang kami miliki. 

Saya ikut berbahagia melihat tetangga semakin kaya, bergembira teman-teman semakin ternama, dan apapun di luar sana tidak membuat saya merasa rendah diri sebagai ibu rumah tangga. Merasa cukup, dan tidak lagi menginginkan apa-apa. Puas dengan segalanya, siap berpulang ke Sang Maha Pencipta.