Jumat, 12 Januari 2024

Berpapasan dengan Materialisme

Hidup di masa kini dengan iklan yang bertubi-tubi, media sosial yang memaparkan kekayaan materi, dan lingkungan  yang berlomba memamerkan kemegahan, akankah kita bisa melepaskan diri dari materialisme?. 

Materialisme adalah pandangan diri yang positif tergantung dari penerimaan diri yang memiliki kepemilikan benda – benda, uang serta power dan image. Dimana akan terus menerus dihidupkan melalui feedback dari orang lain.  (https://www.liputan6.com/hot/read/5357886/materialisme-adalah-paham-filsafat-berupa-kenyataan-sebenarnya-benda-dan-materi)

Berpapasan dengan manusia yang mementingkan penilaian orang lain, mengutamakan benda dan uang ketimbang relasi manusia. Berjumpa dengan manusia semacam ini sungguh memuakkan. Karena orang semacam ini akan dengan ringan menumbalkan siapapun dan apapun demi memperoleh materi. Apa yang mereka katakan hanya seputar si ini beli tanah dan rumah di sini, menghubungi hanya sekedar urusan uang dan barang, kerja kerja kerja, lupakan relasi keluarga.  

Siapa sih yang tak perlu uang?. Siapa yang tak perlu rumah yang nyaman dengan lingkungan yang aman. Dalam skala tertentu ada kebutuhan-kebutuhan dasar yang memang harus dipenuhi. Sekedar satu rumah, satu kendaraan, beberapa pakaian yang layak. Setelahnya untuk apa sih membeli lagi dan lagi, dengan kerja keras mengorbankan waktu bersama keluarga?. Sudahlah, hidup ini sebentar sekali, dan apa yang ternyata bermakna adalah waktu bersama orang yang kita cintai. 

Saya pribadi tidak peduli dengan desakan bekerja, sayang ijazahnya katanya. Sudah sekolah tinggi kok ujungnya mengurus rumah tangga. Halah provokasi kacangan semacam itu hanya debu di semesta saya. Saya menikah di usia 21 tahun, lalu pergi pertukaran pelajar di Jepang, menyelesaikan kuliah S1 Psikologi UI lalu sisanya mengabdi untuk keluarga. Jadi tidak ada gelar setelah S.Psi, tidak ada karir yang patut dibanggakan, dan tidak juga tabungan yang tumpah ruah. Bersyukur suami bekerja dan berkarir dengan tabah sehingga pada akhirnya di usia saya yang 36tahun rasanya sudah cukup semua yang kami miliki. 

Saya ikut berbahagia melihat tetangga semakin kaya, bergembira teman-teman semakin ternama, dan apapun di luar sana tidak membuat saya merasa rendah diri sebagai ibu rumah tangga. Merasa cukup, dan tidak lagi menginginkan apa-apa. Puas dengan segalanya, siap berpulang ke Sang Maha Pencipta.



Tidak ada komentar: