Senin, 21 September 2015

Ironi Wanita Masa kini

Berkat perjuangan banyak wanita, kini banyak wanita yang meraih gelar tidak hanya sarjana, tetapi juga master dan doktor. Semakin banyak wanita yang bekerja di luar rumah demi mengamalkan ilmu yang diperoleh di perkuliahan. Meskipun telah menikah dan memiliki beberapa anak, tidak sedikit yang tetap bekerja lantaran sayang jika pendidikan tinggi yang diperoleh hanya berujung pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Selain itu nampaknya sayang pula meninggalkan karir yang menanjak dan meningkat pesat. Dengan demikian pilihan menitipkan anak anak pada orang tua atau tempat penitipan anak pun dipilih oleh kebanyakan keluarga masa kini.

Dari segi kekuatan, wanita masa kini jauh lebih berkuasa secara finansial. Sedikit saja suami berselingkuh, maka jalur perceraian pun di ambil. Sebab apa gunanya bertahan dengan suami yang berkhianat, sementara sang istri mampu menafkahi dirinya dan anak-anak.

Ada yang menggelitik saya mengenai kekuatan finansial para wanita yang malah menjadi suatu ironi. Beberapa kasus yang saya lihat wanita membiayai kontrol kehamilan, keguguran, maupun melahirkan dengan dana hasil keringatnya sendiri. Membuat saya tersenyum kasihan sebab apalah gunanya bersuami kalau demikian?. Memang dengan demikian semakin besar pahalanya sebab ia hamil, keguguran, melahirkan, dan shadaqah pula untuk membiayai semuanya. Namun tidakkah itu di satu sisi malah menyusahkan diri sendiri. Wanita yang konvensional macam saya ini hamil, melahirkan, sebagian besar atas tanggungan suami. Sebab hamil dan melahirkan saja sudah luar biasa perjuangannya, masa sih suami tega membiarkan saya mencari nafkah pula di luaran?. Saya hanya bekerja freelance dan banyak di rumah setelah kandungan membesar. Tidakkah itu berarti disayang dan dimuliakan?.

Ironi lainnya saya lihat pada ibu bekerja yang menghabiskan jutaan untuk membayar TPA ( tempat penitipan anak) atau membayar ratusan ribu untuk pengasuh anak di rumah. Lalu membelikan pakaian dan mainan mahal guna mengkompensasi waktu yang hilang bersama anak-anak. Padahal pakaian atau mainan itu tidaklah bertahan lama. Dahulu saya sempat demikian, membelikan mainan hingga bertumpuk di kamar anak saya, tapi ternyata kini yang ia mainkan justru kardus bekas atau barang barang bekas lain yang dijadikan drama imajinatif yang seru baginya.

Ironis, sebab ternyata yang anak anak butuhkan adalah kita bunda nya. Yang mengajarkan akhlak yang baik dengan contoh dan obrolan. Mengatur tayangan yang ia tonton, dan memastikan hanya yang layak yang ia tonton. Relakah kita bila anak kita menjadi penyanyi syair syair dewasa yang tak layak, lantaran pengasuhnya gemar mendengarkan musik dangdut tak mendidik?. Relakan kita bila suatu saat anak anak kita menitipkan kita ke panti jompo, lantaran kita menitipkannya ke TPA (tempat penitipan anak)?. Jika rela silahkan melanjutkan hidup anda sebab kewajiban saya hanya mengingatkan :)

Tidak ada komentar: