Buku Steve Jobs karya Walter Isaacton
terbit pada tahun 2011. Saya membeli buku ini pun sudah bertahun-tahun lalu,
namun karena kurangnya minat, buku tersebut tersimpan hingga kertasnya pun
menguning. Akhirnya setelah putri kedua saya nyaris berusia 4 tahun, saya pun
akhirnya memiliki waktu yang leluasa untuk menyelesaikan buku setebal 728
halaman ini.
Kesan saya setelah menyelesaikan
biografi sang pendiri Apple tersebut adalah terkesan. Meski bukan
penggila komputer, saya sebagaimana banyak orang lainnya tidak bisa lepas dari Android
dan Google yang ternyata dibahas pula dalam buku tersebut, sebagai efek
dari kemajuan yang dicapai Apple. Saya pribadi hanya sekilas melihat produk
premium karya Apple, karenanya bukan produk yang akan saya bicarakan,
melainkan pelajaran dari kisah hidup Steve Jobs.
Tidak banyak orang yang dapat sukses
tanpa sokongan keluarga yang kaya atau terpelajar. Sebut saja Bill Gates yang
ternyata didukung dengan kekayaan dan jaringan orang tuanya. Berbeda halnya
dengan Steve Jobs, ia adalah anak adopsi yang dibesarkan keluarga pekerja, yang
harus menabung mati-matian agar dapat menguliahkan anak angkatnya tersebut. Bisnis
Apple sendiri berdiri alakadarnya, dengan mengandalkan garasi di rumah
orang tuanya. Tidak ada sarana prasarana yang mendukung, maupun dana yang
melimpah. Meski tentu saja lokasi dimana ia dibesarkan, serta orang-orang
penting yang ia temui memberikan andil besar dalam perkembangan bisnisnya.
Saya salut pada orangtua Steve Jobs
yang sepenuh hati mendukung kesuksesan sang anak angkat. Keduanya menerima
anaknya, bahkan uniknya malah beranggapan bahwa sekolah tidak berhasil
menstimulasi sang anak, sehingga Jobs pun mengacau di sekolah. Pembelaan dan
sugesti bahwa Jobs adalah anak yang spesial menjadi bekal mental yang
menguatkannya di tengah keterbatasan.
Jika membaca kisah hidupnya, kita
tahu bahwa Jobs bukanlah orang yang sopan santun dan menyenangkan. Sebaliknya,
ia dibenci banyak orang karena lisannya yang menyakitkan. Belum lagi sikapnya
begitu buruk sehingga tidak banyak orang yang sanggup berada di dekatnya. Fokus
hidupnya adalah pada produk yang berkualitas, sehingga perasaan orang lain
tidaklah menjadi prioritas. Memang sulit mencari paket lengkap keluhuran akhlak
disertai dengan kecermelangan prestasi. Hal ini mengingatkan saya pada kemuliaan
akhlak Rosulullah saw yang berujung pada tersebarnya Islam di muka bumi. Itulah
yang membuat beliau begitu istimewa, sukses justru dengan budi bahasa yang
mempesona. Sebab yang Rosulullah saw bangun adalah jiwa manusia, bukan produk
maupun arsitektur yang memikat.
Sedih sekali ketika menyelesaikan
buku biografi Steve Jobs. Sebagai muslim, tujuan hidup adalah mati husnul
khatimah dengan iman yang menghujam di dalam dada. Namun, sayangnya di akhir
kisah yang ada hanyalah pertanyaan yang mengambang.
“Aku hampir setengahnya mempercayai Tuhan,” ujarnya. “Hampir
sepanjang hidupku, aku merasa bahwa pasti ada hal yang lebih penting mengenai
keberadaan kita dari sekedar apa yang terlihat oleh kita.” (hal.690)
Hal itu amat disayangkan, karena
sebenarnya ayah biologis Jobs adalah seorang muslim yang sayangnya tidak
bertanggungjawab dalam memerankan peran ayah. Selain itu, terbukti pula bahwa
seorang yang hidupnya tak beragama pun, ketika kematian menyapa, ia akan
mengingat Tuhan.
Satu diantara orang yang ditelponnya adalah Larry
Brillian, yang pertama dikenalnya di ashram India. “Kau masih percaya kepada
Tuhan?” tanya Jobs kepadanya. Brillian berkata bahwa dia masih percaya lalu
mereka mendiskusikan berbagai jalan kepada Tuhan yang diajarkan guru Hindu
mereka, Neem Karoli Baba. Lalu, Brilliant menanyakan adakah masalah yang
terjadi kepada Jobs. “Aku menderita kanker,” jawab Jobs. (hal. 551)
Mirisnya pula, kematian tidaklah
dapat dibeli dengan uang. Prestasi yang gemilang dalam menciptakan perusahaan
yang mendunia, yaitu Apple dan Pixar, tidak juga dapat
mengundurkan kematian barang sedetik pun. Memang, dengan harta melimpah, disertai
dengan pesawat pribadi, perkara operasi menjadi mungkin ditempuh, sehingga ia
memperoleh perpanjangan waktu. Namun tetap saja, kanker yang menggerogoti
tubuhnya tidak dapat ia kalahkan meski dengan tim dokter ahli di sekitarnya.
Hal itu mengajari saya akan keterbatasan waktu yang manusia miliki. Akan
pentingnya persiapan pulang ke negeri akhirat yang abadi. Mencari materi
seperlunya saja, sebatas untuk hidup dan bekal berpulang.
bersambung ke bagian 2......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar