Jumat, 13 September 2019

Belajar dari buku Steve Jobs karya Walter Isaacson



Buku Steve Jobs karya Walter Isaacton terbit pada tahun 2011. Saya membeli buku ini pun sudah bertahun-tahun lalu, namun karena kurangnya minat, buku tersebut tersimpan hingga kertasnya pun menguning. Akhirnya setelah putri kedua saya nyaris berusia 4 tahun, saya pun akhirnya memiliki waktu yang leluasa untuk menyelesaikan buku setebal 728 halaman ini.

Kesan saya setelah menyelesaikan biografi sang pendiri Apple tersebut adalah terkesan. Meski bukan penggila komputer, saya sebagaimana banyak orang lainnya tidak bisa lepas dari Android dan Google yang ternyata dibahas pula dalam buku tersebut, sebagai efek dari kemajuan yang dicapai Apple. Saya pribadi hanya sekilas melihat produk premium karya Apple, karenanya bukan produk yang akan saya bicarakan, melainkan pelajaran dari kisah hidup Steve Jobs.

Tidak banyak orang yang dapat sukses tanpa sokongan keluarga yang kaya atau terpelajar. Sebut saja Bill Gates yang ternyata didukung dengan kekayaan dan jaringan orang tuanya. Berbeda halnya dengan Steve Jobs, ia adalah anak adopsi yang dibesarkan keluarga pekerja, yang harus menabung mati-matian agar dapat menguliahkan anak angkatnya tersebut. Bisnis Apple sendiri berdiri alakadarnya, dengan mengandalkan garasi di rumah orang tuanya. Tidak ada sarana prasarana yang mendukung, maupun dana yang melimpah. Meski tentu saja lokasi dimana ia dibesarkan, serta orang-orang penting yang ia temui memberikan andil besar dalam perkembangan bisnisnya.

Saya salut pada orangtua Steve Jobs yang sepenuh hati mendukung kesuksesan sang anak angkat. Keduanya menerima anaknya, bahkan uniknya malah beranggapan bahwa sekolah tidak berhasil menstimulasi sang anak, sehingga Jobs pun mengacau di sekolah. Pembelaan dan sugesti bahwa Jobs adalah anak yang spesial menjadi bekal mental yang menguatkannya di tengah keterbatasan.

Jika membaca kisah hidupnya, kita tahu bahwa Jobs bukanlah orang yang sopan santun dan menyenangkan. Sebaliknya, ia dibenci banyak orang karena lisannya yang menyakitkan. Belum lagi sikapnya begitu buruk sehingga tidak banyak orang yang sanggup berada di dekatnya. Fokus hidupnya adalah pada produk yang berkualitas, sehingga perasaan orang lain tidaklah menjadi prioritas. Memang sulit mencari paket lengkap keluhuran akhlak disertai dengan kecermelangan prestasi. Hal ini mengingatkan saya pada kemuliaan akhlak Rosulullah saw yang berujung pada tersebarnya Islam di muka bumi. Itulah yang membuat beliau begitu istimewa, sukses justru dengan budi bahasa yang mempesona. Sebab yang Rosulullah saw bangun adalah jiwa manusia, bukan produk maupun arsitektur yang memikat.

Sedih sekali ketika menyelesaikan buku biografi Steve Jobs. Sebagai muslim, tujuan hidup adalah mati husnul khatimah dengan iman yang menghujam di dalam dada. Namun, sayangnya di akhir kisah yang ada hanyalah pertanyaan yang mengambang.

“Aku hampir setengahnya mempercayai Tuhan,” ujarnya. “Hampir sepanjang hidupku, aku merasa bahwa pasti ada hal yang lebih penting mengenai keberadaan kita dari sekedar apa yang terlihat oleh kita.” (hal.690)
Hal itu amat disayangkan, karena sebenarnya ayah biologis Jobs adalah seorang muslim yang sayangnya tidak bertanggungjawab dalam memerankan peran ayah. Selain itu, terbukti pula bahwa seorang yang hidupnya tak beragama pun, ketika kematian menyapa, ia akan mengingat Tuhan.

Satu diantara orang yang ditelponnya adalah Larry Brillian, yang pertama dikenalnya di ashram India. “Kau masih percaya kepada Tuhan?” tanya Jobs kepadanya. Brillian berkata bahwa dia masih percaya lalu mereka mendiskusikan berbagai jalan kepada Tuhan yang diajarkan guru Hindu mereka, Neem Karoli Baba. Lalu, Brilliant menanyakan adakah masalah yang terjadi kepada Jobs. “Aku menderita kanker,” jawab Jobs. (hal. 551)
Mirisnya pula, kematian tidaklah dapat dibeli dengan uang. Prestasi yang gemilang dalam menciptakan perusahaan yang mendunia, yaitu Apple dan Pixar, tidak juga dapat mengundurkan kematian barang sedetik pun. Memang, dengan harta melimpah, disertai dengan pesawat pribadi, perkara operasi menjadi mungkin ditempuh, sehingga ia memperoleh perpanjangan waktu. Namun tetap saja, kanker yang menggerogoti tubuhnya tidak dapat ia kalahkan meski dengan tim dokter ahli di sekitarnya. Hal itu mengajari saya akan keterbatasan waktu yang manusia miliki. Akan pentingnya persiapan pulang ke negeri akhirat yang abadi. Mencari materi seperlunya saja, sebatas untuk hidup dan bekal berpulang.



bersambung ke bagian 2......

Tidak ada komentar: