Minggu, 25 Januari 2015

Jepang, syurga duniaku

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami kamu dikembalikan" QS Al Ankaabut:57



Setiap orang memiliki titik balik dalam hidupnya. Suatu kesadaran yang muncul yang membuatnya berputar halauan atau keyakinan. Bagi saya "Terwujudnya impian saya ke Jepang" adalah suatu titik balik. Akhir pengejaran dunia dan awal kesadaran sebenarnya akan akhirat.

Sebelum kembali ke Indonesia bulan Agustus 2010, Sensei (dosen) bertanya pada saya apakah saya hendak kembali lagi ke Jepang. Saya jawab tidak. Dengan heran ia bertanya kenapa. Saya katakan bahwa saya hendak bekerja di Indonesia atau kalaupun kembali ke Universitas, maka saya hendak ke Mesir untuk belajar Islam lebih dalam. Lagipula sulit bagi saya tinggal di Jepang, sebab sulit sekali menemukan makanan halal, kecuali dengan pengetahuan bahasa Jepang yang mumpuni. Sensei pun menutup wawancara kami dengan kalimat, "Jika kamu berhasil ke Mesir, kabari saya".

Kembalilah saya ke Indonesia dan perkara studi lanjutan di Mesir tertimbun kesibukan sebagai seorang istri, guru, dan ibu. Empat tahun berlalu dan saya sudah melupakan tentang studi lanjutan di Universitas.Kini saya hanya ingin mempelajari Islam dengan lebih serius, dengan atau tanpa kuliah lagi. Membaca Quran, makna, dan tafsirnya setiap hari. Mengaji bersama ibu-ibu di sekitar rumah. Membaca kitab fikih shahih. Hanya itu saja, tanpa gelar tertentu. 

Bukan tentang Mesir maupun kegiatan ibu rumah tangga yang menjemukan yang hendak saya bicarakan di sini, melainkan mengenai Jepang. Kembali ke masa ketika 4 tahun silam saya menjelajahi negeri impian saya tersebut. Negeri yang memiliki peradaban maju. Dengan Shinkansen (kereta super cepat) dan Chikatetsu (kereta bawah tanah) nya. Dengan kebersihan dan keramahan orang-orangnya. Dengan berbagai pesona yang membuat saya merasakan bagaimana menjadi "Alice in Wonderland" (Alice di Negeri Ajaib).

Jika saja kemajuan tekhnologi adalah prasyarat bagi kebahagiaan, tidakkah seharusnya mereka tidak memerlukan bunuh diri sebagai cara mengakhiri hidup?. Dengan keajaiban yang telah mereka wujudkan, tidakkah mereka seharusnya bisa sedikit bersantai dan menggunakan jatah cuti yang mereka punya?. Di sanalah, di Jepang, negeri impian saya, saya tersadar bahwa dunia ini sedemikian fana. Dan kemajuan peradaban tanpa disertai keimanan adalah hampa.

Dunia ini jika dikejar tiada ujungnya kecuali kematian. Itulah alasan saya berhenti mengejar ilmu duniawi semacam Psikologi. Meskipun ternyata saya malah mempelajari Grafologi di tahun 2012, kini saya menginsyafi bahwa kematian saya semakin dekat menghampiri dan sudah tidak boleh ada alasan lagi untuk menghindari pembelajaran AlQuran dan AlHadist. Diingatkan oleh kematian dua orang teman satu angkatan kuliah di Psikologi UI serta kematian seorang murid, belum lagi tamparan peringatan dari pengajian Ibu-Ibu, akhirnya di awal tahun 2015 saya berhijrah. Berhijrah mempersiapkan kematian dan kehidupan setelahnya dengan lebih bersungguh-sungguh dengan segenap daya upaya. 

Semoga masih ada waktu untuk kita semua berbalik. Agar kelak tiada penyesalan di hari ketika tiada lagi kesempatan tuk beramal. Aamiin

Tidak ada komentar: