Senin, 25 November 2013

Musim Dingin dan Kelas Radiasi (bagian I)

Seperti biasa, aku menggunakan empat lapis pakaian untuk menahan dinginnya musim dingin. Lapis pertama berupa pakaian hangat yang tipis, lapis kedua pakaian tebal, lalu jaket bulu, ditambah dengan jaket bulu yang lebih besar. Dengan usaha yang sedemikian gigih, udara pun mengalah.
Sore itu aku beserta Hwisang, Eric, Yee Sin, Gui, dan Hazama Sensei (dosen) berangkat menggunakan mobil milik Universitas Hiroshima. YeeSin yang memiliki SIM internasional menawarkan bantuan menyetir seandainya saja Sensei lelah. Tawaran itu ditolak oleh Sensei, karena mobil pinjaman itu tanggung jawab sensei, maka ia tak berani menyerahkannya disopiri orang lain. Betapa bertanggungjawabnya sensei kami, pengajar mata kuliah “Introduction to Radiation in the Environment”. Beliau adalah orang yang baik dan sederhana, meskipun sudah bergelar doktor dan sudah dapat dipastikan merupakan seorang ahli dalam bidang radiasi.
Sungkan, hampir tidak ada di antara kami bersedia menemani sensei di kursi depan. Untungnya, Eric akhirnya merelakan dirinya. Ia mahir berbahasa Jepang sebab ia pernah melewati sekolah  dasar di negara Sakura. Sepanjang perjalanan, Eric dan sensei mengobrol dengan serunya. Beberapa kupahami karena dalam bahasa Inggris, sisanya entahlah. Bahasa Jepangku sangatlah terbatas.
di Lobi hotel bersama Gui Martin (USA)dan Yee Sin (Malaisya) 
Setelah berhenti di satu “rest area” dan melalui beberapa sungai juga daerah-daerah yang sepi, akhirnya kami mencapai Hotel Misasa. Saat itu sore menjelang magrib. Kami check in, lalu makan malam prasmanan. Herannya kami, ternyata tempat makan dipenuhi oleh orang-orang tua. Sensei menjelaskan kenapa demikian, terkait dengan pensiun. Sayangnya aku lupa tepatnya apa.
Menu makanan sore itu seputar sea food. Kami memilih sebuah meja yang cukup untuk berenam. Di atas meja disediakan panggangan kecil yang siap dinyalakan. Di sana kami dapat memanggang hewan-hewan laut pilihan kami, itu pun kalau tak hendak memakannya dalam kondisi mentah. Saat itu aku duduk tepat di samping sensei. Teman-teman sengaja menyisakan kursi di samping sensei, sebab seperti saat di mobil, kami semua sungkan dengan beliau yang begitu baik.
Musim Dingin di Hotel Misasa
Setelah makan, sensei mengajak kami berjalan-jalan di sekitar Misasa. Sensei menyuruh kami menggunakan jaket, karena udara luar akan dingin. Yukata kami tidak akan cukup menahan dinginnya Misasa. Dengan semangat aku menuruti saran sensei, sambil tak lupa mengambil kamera.
Setelah perjalanan singkat dengan mobil, kami turun untuk berjalan kaki melihat sekeliling. Banyak sekali patung dan pajangan yang unik sepanjang perjalanan itu. Misasa adalah desa yang sepi, mungkin karena sedang musim dingin. Penduduk desa mungkin sedang meghangatkan diri di dalam kotatsu. Di perjalanan sensei menjelaskan bahwa sebuah bangunan penginapan yang kami lewati adalah "penginapan untuk dewasa"--hm, dari luar terlihat sepi dan biasa saja.
Saat tiba di ujung jalan kami menemukan onsen. Sensei mengajak kami masuk. Aku yang berpakaian tertutup ala muslimah dimaklumi bila tidak masuk pemandian air panas, sebab pemandian air panas di Jepang mengharuskan pengunjungnya bertelanjang bulat. Gui yang baru pertama kali datang ke onsen keberatan untuk masuk dan beralasan ingin menemaniku di luar, namun setelah didesak teman-teman lain ia akhirnya masuk juga dengan tersipu.
Sebelum masuk ke onsen sensei mengantarkanku ke museum yang berada di depan onsen. Kemungkinan mereka akan cukup lama di pemandian. Sensei tidak mungkin meninggalkanku menunggu di luar dalam kondisi udara minus. Sebelum meninggalkanku, penjaga museum bertanya pada sensei mengenai aku: “Nihonggo ga jyozu desuka”. Aku lekas menimpali, “Jyozu ja nai”. Aku tidak bisa berbahasa Jepang.
Museum itu berisi miniatur festival di Misasa. Sayangnya aku tidak mahir membaca tulisan Jepang, keterangan yang tertulis di setiap miniatur dan gambar jadi tidak berguna bagiku. Bapak penjaga museum tersebut dengan antusias menjelaskan dan mengantarkanku ke tingkat atas, dimana informasi tentang desa disimpan. Lagi-lagi ketidakmampuanku dalam bahasa Jepang menghalangiku memahami maksud si Bapa. Kutebak saja maksudnya.

Hazama Sensei, Gui, dan Eric
Akhirnya Bapa baik hati itu menyerah dengan komunikasi kami yang payah. Ia meniggalkanku bersama buku yang berisi informasi mengenai Misasa. Cukup lama aku melihat-lihat gambar di buku, serta lukisan yang ada di dinding lantai atas, hingga akhirnya teman-teman dan sensei datang juga. Mereka mengobrol dengan Bapa baik hati, sementara aku yang tidak paham pembicaraan mereka memilih melihat-lihat miniatur. Setelah itu sensei berpamitan mewakili kami. Bapa penjaga museum mengajakku berfoto sebelum pergi. Rupanya meski aku ini payah dalam berkomunikasi dengannya, ia cukup terkesan dengan kehadiranku. J
Pulang dari onsen kami beristirahat di hotel. Kami harus segar untuk perjalanan esok hari: belajar tentang nuklir di PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) Ningyo Toge. 

Tidak ada komentar: