Seperti biasa, aku menggunakan empat lapis
pakaian untuk menahan dinginnya musim dingin. Lapis pertama berupa pakaian
hangat yang tipis, lapis kedua pakaian tebal, lalu jaket bulu, ditambah dengan
jaket bulu yang lebih besar. Dengan usaha yang sedemikian gigih, udara pun
mengalah.
Sore itu aku beserta Hwisang, Eric, Yee Sin, Gui,
dan Hazama Sensei (dosen) berangkat
menggunakan mobil milik Universitas Hiroshima. YeeSin yang memiliki SIM internasional
menawarkan bantuan menyetir seandainya saja Sensei lelah. Tawaran itu ditolak
oleh Sensei, karena mobil pinjaman itu tanggung jawab sensei, maka ia tak
berani menyerahkannya disopiri orang lain. Betapa bertanggungjawabnya sensei
kami, pengajar mata kuliah
“Introduction to Radiation in the Environment”. Beliau adalah orang yang baik dan sederhana, meskipun sudah bergelar doktor
dan sudah dapat dipastikan merupakan seorang ahli dalam bidang radiasi.
Sungkan, hampir
tidak ada di antara kami bersedia menemani sensei di kursi depan. Untungnya,
Eric akhirnya merelakan dirinya. Ia mahir berbahasa Jepang sebab ia pernah
melewati sekolah dasar di negara Sakura.
Sepanjang perjalanan, Eric dan sensei mengobrol dengan serunya. Beberapa
kupahami karena dalam bahasa Inggris, sisanya entahlah. Bahasa Jepangku
sangatlah terbatas.
di Lobi hotel bersama Gui Martin (USA)dan Yee Sin (Malaisya) |
Setelah
berhenti di satu “rest area” dan melalui beberapa sungai juga daerah-daerah
yang sepi, akhirnya kami mencapai Hotel Misasa. Saat itu sore menjelang magrib.
Kami check in, lalu makan malam prasmanan. Herannya kami, ternyata tempat makan
dipenuhi oleh orang-orang tua. Sensei menjelaskan kenapa demikian, terkait
dengan pensiun. Sayangnya aku lupa tepatnya apa.
Menu makanan
sore itu seputar sea food. Kami memilih
sebuah meja yang cukup untuk berenam. Di atas meja disediakan panggangan kecil
yang siap dinyalakan. Di sana kami dapat memanggang hewan-hewan laut pilihan
kami, itu pun kalau tak hendak memakannya dalam kondisi mentah. Saat itu aku
duduk tepat di samping sensei. Teman-teman sengaja menyisakan kursi di samping
sensei, sebab seperti saat di mobil, kami semua sungkan dengan beliau yang
begitu baik.
Musim Dingin di Hotel Misasa |
Setelah makan,
sensei mengajak kami berjalan-jalan di sekitar Misasa. Sensei menyuruh kami
menggunakan jaket, karena udara luar akan dingin. Yukata kami tidak akan cukup
menahan dinginnya Misasa. Dengan semangat aku menuruti saran sensei, sambil tak
lupa mengambil kamera.
Setelah
perjalanan singkat dengan mobil, kami turun untuk berjalan kaki melihat
sekeliling. Banyak sekali patung dan pajangan yang unik sepanjang perjalanan
itu. Misasa adalah desa yang sepi, mungkin karena sedang musim dingin. Penduduk
desa mungkin sedang meghangatkan diri di dalam kotatsu. Di perjalanan sensei menjelaskan bahwa sebuah bangunan penginapan yang kami lewati adalah "penginapan untuk dewasa"--hm, dari luar terlihat sepi dan biasa saja.
Saat tiba di
ujung jalan kami menemukan onsen. Sensei mengajak kami masuk. Aku yang
berpakaian tertutup ala muslimah dimaklumi bila tidak masuk pemandian air
panas, sebab pemandian air panas di Jepang mengharuskan pengunjungnya
bertelanjang bulat. Gui yang baru pertama kali datang ke onsen keberatan untuk
masuk dan beralasan ingin menemaniku di luar, namun setelah didesak teman-teman
lain ia akhirnya masuk juga dengan tersipu.
Sebelum masuk
ke onsen sensei mengantarkanku ke museum yang berada di depan onsen.
Kemungkinan mereka akan cukup lama di pemandian. Sensei tidak mungkin
meninggalkanku menunggu di luar dalam kondisi udara minus. Sebelum
meninggalkanku, penjaga museum bertanya pada sensei mengenai aku: “Nihonggo ga
jyozu desuka”. Aku lekas menimpali, “Jyozu ja nai”. Aku tidak bisa berbahasa
Jepang.
Museum itu
berisi miniatur festival di Misasa. Sayangnya aku tidak mahir membaca tulisan
Jepang, keterangan yang tertulis di setiap miniatur dan gambar jadi tidak
berguna bagiku. Bapak penjaga museum tersebut dengan antusias menjelaskan dan
mengantarkanku ke tingkat atas, dimana informasi tentang desa disimpan.
Lagi-lagi ketidakmampuanku dalam bahasa Jepang menghalangiku memahami maksud si
Bapa. Kutebak saja maksudnya.
Hazama Sensei, Gui, dan Eric |
Akhirnya Bapa
baik hati itu menyerah dengan komunikasi kami yang payah. Ia meniggalkanku
bersama buku yang berisi informasi mengenai Misasa. Cukup lama aku
melihat-lihat gambar di buku, serta lukisan yang ada di dinding lantai atas,
hingga akhirnya teman-teman dan sensei datang juga. Mereka mengobrol dengan
Bapa baik hati, sementara aku yang tidak paham pembicaraan mereka memilih
melihat-lihat miniatur. Setelah itu sensei berpamitan mewakili kami. Bapa
penjaga museum mengajakku berfoto sebelum pergi. Rupanya meski aku ini payah
dalam berkomunikasi dengannya, ia cukup terkesan dengan kehadiranku. J
Pulang dari
onsen kami beristirahat di hotel. Kami harus segar untuk perjalanan esok hari: belajar
tentang nuklir di PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) Ningyo Toge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar