Jumat, 21 Juni 2013

Ramadhan di Jepang

Sepupu saya akhir-akhir ini bertanya mengenai pengalaman saya menjalani Ramadhan di Jepang. Katanya untuk bahan lomba menulis. Saya jadi tergelitik untuk menulis juga.

Ramadhan selalu indah. Bulan dimana kita bisa fokus pada hal lain selain makan dan minum. Menjadi lebih produktif dan semakin dekat dengan Allah swt. Maka di manapun lokasi kita tinggal saat Ramadhan, tidak masalah bukan?.

Saya beruntung pernah menikmati bulan Ramadhan di Saijo, Hiroshima. Meskipun tinggal jauh dari suami, saya berusaha untuk tetap menikmatinya. Saat itu bulan Agustus 2010, puncak musim panas. Untungnya perkuliahan sudah selesai sehingga saya bisa banyak berdiam diri di kamar asrama yang mungil. Mengurangi intensitas mengayuh sepeda naik turun gunung. Kebiasaan yang cukup membuat saya jadi kurus/ langsing selama di Jepang.

Bicara tentang asrama, asrama di Universitas Hiroshima tidak jauh berbeda dengan asrama di UI. Bedanya kondisi kamar mandi, toilet, dapur lebih baik. Ada ibu-ibu yang rajin membersihkan area-area tersebut. Mahasiswa hanya bertanggungjawab dengan kamarnya sendiri. Dan berhubung Jepang adalah negara dengan empat musim, AC dan pemanas air adalah hal yang mutlak dibutuhkan. Terutama saat musim dingin. Tidak mungkin kan tidak mandi sepanjang musim dingin, lantaran airnya berubah jadi sedingin air es?.

Baik, kembali lagi ke Ramadhan. Masalah yang timbul dari Ramadhan di negara mayoritas non-muslim adalah masalah kehalalan makanan dan waktu Shalat. Tidak ada masjid, otomatis tidak ada azan. Darimana tahu waktu berbuka?. Perkara mudah dengan bantuan internet. Tinggal googling, list jadwal shalat tersedia lengkap untuk sebulan puasa. Perkara kehalalan makanan, bisa disiasati dengan masak sendiri atau kalau pun belanja makanan kemasan, teliti mati-matian bahan bakunya. Tentunya dengan berbekal list bahan-bahan haram dan kemampuan membaca huruf kanji. Baru deh terasa enaknya di Indonesia tinggal lihat label halal MUI. Hehe

Sahur sendiri, buka juga sendiri. Terkadang ada acara buka bersama dengan komunitas PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Hiroshima, sungguh menenangkan hati. Tenang karena di negara asing, dengan teman-teman bule yang super beda budayanya, Alhamdulillah ada teman-teman dari Indonesia yang rasanya jadi seperti saudara.


1 komentar:

Naelil mengatakan...

Sepertinya seru banget ya, Mbak. Pengalaman yang "beda". Ngebayangin gimana ribetnya nggak bisa huruf kanji sedang di sana hurufnya keriting semua. :D