Rupanya jadi perempuan jepang sial betul. Pantas saja mereka memilih melajang. Tadinya aku terpesona melihat statistik perceraian di jepang yang begitu rendah. Kupikir keluarga sini bahagia. Setelah baca "The Thorn in the Chrysanthemum; Suicide and Economic Success in Modern Japan"-nya Mamoru Iga (1986), baru tahu kalau ternyata itu karena para istri dalam posisi tidak berdaya. Adalah wajar bagi para suami untuk memiliki perempuan simpanan, dan sebagai reaksi para istri hanya bisa pasrah karena menuntut cerai bukan solusi, di tengah kondisi dunia kerja yang seksis.
Aku belum tahu dunia kerja di Indonesia. Seberapa besar kesetaraan bisa diperoleh pria dan wanita (Ada yang mau berbagi cerita?). Tapi yang jelas di Jepang perempuan sulit menaiki jenjang karir seperti laki-laki. Digaji lebih rendah, meski dengan kemampuan sama. Dan cenderung dipecat lebih dulu jika perusahaan bermasalah. Aku paham mungkin karena memecat laki-laki, akan mempengaruhi istri dan anak laki-laki itu. Tapi kalau balik laki keketidakberdayaan para istri, hm..rumit juga.
Sikap perempuan sini, kebanyakan pasrah saja, karena itu sudah sistemik, sulit diapa-apakan lagi. Seorang teman mengakui bahwa memilih single karena malas mengurus anak dan suami adalah keegoisan. Untuk apa menikah bila bisa menafkahi dirinya sendiri. Hm..mungkin juga dipengaruhi ketakutan terjebak dalam pernikahan dan pengorbanan. Ah negara ini..makin dipelajari makin bermasalah saja rupanya..
(Saturday, January 23, 2010 at 10:40am)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar