Rasanya seperti membuang kotoran dalam tubuh. Melegakan dan membebaskan. Sayang sekali tidak dilakukan dari dahulu. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan?
Kurang lebih seminggu sebelum tanggal 18 Mei bilang “Love, please teach me how to forgive”. Hari demi hari berlalu hingga suatu hari aku mendengarkan sesi psikologi di sebuah stasiun radio. Saat itu seorang Ibu berusia 47 tahun menelpon. Ia curhat tentang ketidakmampuannya melupakan masa lalu, meski kini telah berkeluarga dan beranak dua. Ketika ditanyakan apa sudah memaafkan. Ia bilang “memaafkan sih sudah tapi…”. Eh, narasumbernya marah-marah. Beliau bilang, si Ibu belum memaafkan dengan sunguh-sungguh. Aneh juga sih ada orang curhat dimarahi, tapi apa yang diucapkan narasumber itu setelahnya sangat logis. Ngapain memebebani diri dengan sesuatu di masa lalu. Menyusahkan diri sendiri dengan membawa-bawa luka dan kekecewaan seumur hidup. Sementara kita punya pilihan untuk melepaskan semua itu.
Berkat pembicaraan itu, aku berpikir untuk mengakhiri rasa sakit. Mula-mula merekonstruksi ulang kejadian (rangkaian kejadian) mengenai orang itu. Satu persatu kuingat dan kuletakkan diri dalam posisi orang itu (bagaimana seandainya aku menjadi dirinya, apa yang kulakukan?). Hingga akhirnya menyadari bahwa, ia melakukan apa yang memang seharusnya dilakukan, meski juga melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Hingga akhirnya kusadari bahwa “Seandainya jadi dia, mungkin aku akan melakukan hal yang sama”.
“Love, please teach me how to forgive”
Beberapa hari setelah memaafkan dengan sepenuh hati, bertemu dengan orang itu lagi. Seperti biasa menyapanya dengan seriang mungkin, hanya saja kali ini menggunakan hati (bukan sekedar bermanis wajah). Ternyata lebih bahagia begitu. Sangat bahagia malah. Alhamdulillah…..
Allah adalah cinta, yang denganNya aku sanggup menghadapi segalanya. Akhirnya Dia menghadiahiku sebuah kado yang tak ternilai harganya: “kemampuan memaafkan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar